Teknologi, sebagai sarana yang digunakan manusia untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya, mengalami
perkembangan secara eksponensial dalam kurun waktu 2 dekade terakhir. Hubungan timbal balik dan keterikatan antara
teknologi dan manusia, terutama di bidang informasi, mengubah pola hidup
manusia dalam berpikir dan bertindak. Mudahnya mengakses informasi melalui
internet atau untuk sekadar berjejaring dengan para kolega melalui media sosial
seolah – olah sudah menjadi suatu kebutuhan. Namun, sama seperti koin, internet
memiliki sisi yang tidak dapat dilihat, apabila hanya berfokus pada satu sisi
mata koin. Semula, hanya untuk memudahkan pekerjaan manusia, kini menjadi suatu
ketergantungan yang berujung pada kecanduan. Hal ini yang dapat dirasakan oleh
para pengguna internet, namun sukar untuk disadari. Menjadi suatu hal yang
perlu direfleksikan kembali, apabila teknologi yang seharusnya dikuasai oleh
manusia, menguasai manusia.
Sebagai makhluk sosial., manusia
memanfaatkan media sosial sebagai salah satu sarana untuk memenuhi kodratnya,
untuk bersosialisasi. Media sosial pun berperang penting untuk ‘mendekatkan’ yang
terpisahkan oleh jarak namun menjadi suatu paradoks ketika media sosial itulah
yang ‘menjauhkan’ yang dekat di mata. Hal ini tentunya seolah menjadi sentilan
bagi orang – orang yang menggunakan media sosial pada waktu dan tempat yang tidak
tepat. Ego yang telah dimiliki manusia sejak lahir pun semakin diperkokoh oleh
keberadaan media sosial. Pengakuan yang dibutuhkan setiap individu oleh lingkungannya
diakomodasi oleh media sosial. Setiap orang dapat unjuk kebolehannya, membentuk
citra, menceritakan pengalaman, hingga aib pun disertakan. Semua hal itu pun
dilakukan semata – mata untuk mendapatkan pengakuan yang sifatnya maya.
Disamping dua gejala tersebut, masih banyak gejala – gejala lain yang
ditimbulkan oleh penggunaan media sosial, sebutlah cybercrime, radikalisme yang merajalela, sampai penyebaran konten
porno sekalipun.
Sering dijumpai
ulasan mengenai dampak yang ditimbulkan teknologi dengan seribu satu alsasan
yang logis. Namun semua pembahasan tersebut hanya bermuara kepada gejala –
gejala yang terjadi apabila manusia tidak memanfaatkan teknologi ‘secukupnya’. Bukan
sisi baik atau buruknya dari teknologi yang menjadi akar permasalahan dewasa
ini, melainkan bagaimana cara manusia memanfaatkan teknologi tersebut. Terutama dalam hal ini, pemuda,
sebagai kader – kader bangsa, menanggapi dan memaknai perkembangan teknologi.
Teknologi, sebagai alat, hanya bisa mengikuti kehendak
para pengguna. Pisau pun entah itu sebagai alat memasak atau membunuh,
bergantung kepada pemilik pisau. Hal ini yang selayaknya menjadi fokus dalam
membedah perkembangan teknologi. Dalam pembedahan ini terdapat 3 unsur menurut
tata gramatika: subjek, predikat, dan objek. Bahwa harus disadari apakah subjek
tersebut mampu menyadari, memaknai dan melakukan predikatnya. Dalam konteks
ini, yang menjadi predikat adalah perkembangan teknologi yang harus dipahami
oleh sang subjek. Untuk memahami maksud dari perkembangan teknologi ini, dapat
dibantu dengan 5 W + 1 H. Mengapa pada awalnya teknologi tersebut diciptakan,
apa tujuannya, siapa yang berhak menggunakan, dimana tempat dan waktu yang
tepat untuk menggunakannya, dan bagaimana batasan – batasan dalam memanfaatkannya.
Setelah predikatnya dapat dipahami dan dimaknai, objek dari tindakan ini pun
harus diketahui, yaitu memudahkan pekerjaan manusia.
Namun, ‘pembedahan’ terhadap perkembangan teknologi
pun seolah menjadi sebuah teori belaka melihat gejala – gejala yang sudah diuraikan
pada paragraf sebelumnya. Adapun dua faktor yang memengaruhi hal ini adalah
terlalu cepatnya teknologi tersebut berkembang dan kesiapan secara mental dan
fisik penggunanya. Tentunya perkembangan pesat dari teknologi menjadi suatu
realita yang tidak dapat dielakkan dan diacuhkan, oleh karena itu kesiapan para
pengguna teknologi tersebut yang menjadi fokus perhatian dari problema yang
sudah mengakar selama beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, satu – satunya hal yang dapat
mencegah sekaligus mengobati penyakit ini adalah melalui pendidikan, mulai dari
pendidikan non – formal sampai formal. Pendidikan non – formal yang harus
dimulai dari pendampingan dan pembimbingan oleh keluarga dan pendidikan formal
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta dengan cetak biru yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan jaman.
Untuk mengulas peran pendidikan dalam menyiapkan para
pemuda untuk dapat memaknai dan menanggapi perkembangan teknologi yang mengubah
lanskap gaya hidup masa kini, terlebih dahulu perlu diketahui kondisi
pendidikan kini, setidaknya 2 dekade terakhir ini. Dalam menguji suatu subjek
pelajaran, tidak jarang ditemui soal – soal yang hanya dapat dijawab dengan
menghafal mati, misalkan pelajaran – pelajaran sosial seperti sejarah dan geografi
yang cenderung menghafalkan tahun atau nama, ataupun menghafalkan jawaban dari
persoalan matematika yang runyam. Teknik menghafal ini tentunya diperlukan
dalam porsi yang cukup, tanpa mengabaikan teknik menganalisis suatu
permasalahan. Dalam menganalisis suatu permasalahan, para pemuda dihadapkan
pada kejujuran dalam mengamati objek, merumuskan permasalahan yang ada dan
akhirnya menemukan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut. Hal ini yang
tidak didapat ketika daya kritis pemuda dibatasi oleh pembelajaran dengan cara
teknik menghafal saja.
Adapun pembelajaran hanya menjadi sekadar teoretis
belaka ketika ilmu – ilmu yang sudah didapat tidak dapat dikorelasikan secara
kontekstual terhadap lingkungan. Ilmu sejarah yang mengajarkan pola kehidupan
manusia pada masa lampau yang akan menuntun penikmat sejarah dalam merumuskan
pola kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang, seolah – olah kehilangan
makna apabila pengetahuan tersebut tidak dapat diolah dan dikorelasikan dengan
kehidupan kini. Revolusi industri misalnya, perkembangan teknologi yang begitu
pesat ternyata tidak membuahkan kehidupan yang manis bagi semua orang, hal ini
ditunjukkan dengan semakin besarnya jurang antara sang kaya dan miskin. Bahwa
ternyata terdapat pola yang sama dengan keadaan sekarang, yaitu berkembangnya
teknologi dengan begitu cepat, namun pola ini tidak disadari sehingga
menimbulkan gejala – gejala seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
Dari uraian yang
sudah disampaikan, bahwa pendidikan yang mengedepankan teknik menghafal
ketimbang menganalisis, dan tidak dapat mengorelasikan antara ilmu dan realita
akan menyebabkan para peserta didik tidak mampu untuk mengomperhensi perubahan
yang begitu cepat terjadi (baca : internet). Hal ini ditunjukkan dengan tidak
adanya kesadaran untuk menganalisis dan memahami pola yang ada mengenai
perkembangan teknologi tersebut. Perkembangan teknologi yang seharusnya dapat
menentukan gaya hidup dari seorang pemuda beralih menjadi pendiktean gaya hidup
oleh teknologi. Oleh karena itu urgensi pemuda dalam menghadapi perkembangan
teknologi yang pesat ini adalah dengan menyadari dan memaknai persoalan yang
ada dan menjadikan pendidikan menjadi
jalan yang ditempuh untuk menyiapkan para penerus bangsa dalam menghadapi
tantangan – tantangan jaman secara kontekstual.
0 komentar:
Posting Komentar